13 Lainnya Risiko Bencana Sedang 14 Wilayah di Jawa Barat Masuk Kategori Risiko Bencana Tinggi

13 Lainnya Risiko Bencana Sedang 14 Wilayah di Jawa Barat Masuk Kategori Risiko Bencana Tinggi

Belum genap 2021 satu bulan, sejumlah bencana telah melanda beberapa wilayah di Indonesia. Seperti yang terjadi di sejumlah kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat. Menurut data yang dikeluarkan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jawa Barat, mulai 1 18 Januari 2021 telah terjadi 40 bencana alam, yang meliputi 16 kejadian tanah longsor, 15 bencana banjir, dan 9 peristiwa puting beliung.

Rangkaian bencana itu mengakibatkan 40 orang meninggal dunia dan berdampak pada 92.858 jiwa. Korban jiwa tersebut berasal dari tragedi tanah longsor di Kecamatan Cimanggung, Kecamatan Sumedang. Menurut Kepala Pelaksana BPBD Jabar, Dani Ramdan, Jawa Barat memang merupakan daerah rawan bencana.

Dari 27 kabupaten/kota, 14 daerah berada dalam kategori risiko bencana tinggi, sedangkan 13 daerah mempunyai risiko bencana sedang. "Hanya gempa yang tidak bisa diprediksi kapan dan di mana terjadi." "Tapi kalau banjir, kita lihat dari kondisi alam termasuk banjir rob karena air laut yang naik."

"Sedangkan, tsunami dan gempa tidak bisa diprediksi," kata Dani, dalam rilis resminya, Rabu (20/1/2021). Agar masyarakat paham dan sadar tentang kondisi ini, BPBD Jabar telah menyusun kajian risiko bencana dan peta rawan bencana sampai ke tingkat desa. Selanjutnya, pihaknya juga membuat rencana penanggulangan bencana (RPB) di tingkat kabupaten/kota dan provinsi.

Dari RPB itu dapat disusun rencana kontingensi jenis kebencanaan untuk setiap kabupaten/kota. "Dari rencana dan peta rawan bencana itu, pemerintah desa bisa menyusun, misalnya jalur evakuasi manakala akan berpotensi bencana, tempat evakuasi atau pengungsian." "Kalau itu sudah ditambah kesiapan personel dan peralatan bencana, maka bencana itu bisa kita hadapi," jelasnya.

Dani menekankan agar masyarakat makin meningkatkan kewaspadaan dan kesadaran tentang potensi bencana. Dua hal itu diperlukan agar dapat meminimalisasi potensi korban meninggal dunia dan kerugian harta benda. Dia menjelaskan apabila warga menyadari tentang itu, mereka dapat melakukan mitigasi bencana.

Contohnya, masyarakat melakukan pengecekan terhadap saluran saluran air apakah ada yang menyumbat atau tidak. Warga juga bisa menggalakkan pemeriksaan tebing, dari sana bisa diketahui apakah vegetasi dan tembok penahan tanahnya masih layak. Jika terdapat retakan di tanah maupun di tembok penahannya apalagi terjadi rembesan air di sana, hal itu menandakan bisa terjadi potensi longsoran yang berbahaya.

"Dalam kondisi demikian khususnya ketika terjadi hujan lebat, sebaiknya masyarakat yang bermukim di sekitar tebing seperti itu melakukan evakuasi ke tempat yang lebih aman," ujarnya. Bagi masyarakat yang bermukim di bantaran sungai, bila tinggi muka air sungai sudah mencapai level yang membahayakan, warga segera melakukan evakuasi ke tempat yang lebih tinggi. Dani juga mengingatkan soal golden time .

Dalam golden time yang berlangsung nol sampai tiga puluh menit ketika bencana terjadi, 34 persen faktor keselamatan dari bencana bersumber dari kesiapsiagaan individu. Pengetahuan dan kemampuan yang bersangkutan dalam melakukan evakuasi menjadi hal yang krusial. Sebanyak 31 persen keselamatan bersumber dari pertolongan orang orang terdekat, yaitu anggota keluarga yang turut memahami soal pengetahuan dan rencana kontigensi yang dilatihkan bila terjadi bencana.

Pertolongan komunitas, misalnya tetangga maupun teman kerja, menunjang 17 persen faktor keselamatan. “Peran BPBD, Tim SAR, dan petugas lainnya hanya menyumbang 1,8 persen saja, karena pada saat golden time mereka tidak berada persis di tempat bencana." "Dengan demikian kesiapsagaan individu, keluarga dan komunitas mutlak diperlukan dalam membangun masyarakat yang berbudaya tangguh bencana," urainya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *